036221588
kajanannew90@gmail.com
Kelurahan Kampung Kajanan

SEJARAH KELURAHAN KAMPUNG KAJANAN


SEJARAH KAMPUNG KAJANAN

BANYAK versi cerita tentang lahirnya Kampung Kajanan, Singaraja, Bali. Namun, belum ditemukan bukti-bukti sejarah yang bisa menentukan kapan tepatnya kampung yang berada di sisi barat Tukad (Sungai) Buleleng ini ada. Jangankan hari atau tanggal, bulan apa atau tahun berapa Kampung Kajanan lahir belum ada data otentik yang bisa menjelaskan.

Dari diskusi terbatas yang digelar Takmir Masjid Kuno Keramat Singaraja, pada Minggu, 13 November 2022, setidaknya ada tiga versi tentang sejarah lahirnya Kampung Kajanan yang mengemuka. Dalam cerita-cerita tersebut juga disebutkan kenapa dinamakan Kampung Kajanan?

Versi pertama menyebutkan, nama Kampung Kajanan muncul setelah pemerintahan penjajahan Belanda menginginkan wilayah di pesisir pantai Buleleng (Pelabuhan Buleleng dan sekitarnya). Sebab, wilayah tersebut sangat strategis, sebagai pelabuhan.

Kampung Kajanan, Moh. Mustafa Umar, karena menginginkan wilayah yang ditempati warga Muslim tersebut, Belanda meminta Raja Buleleng untuk menggeser warga Muslim di pinggir pantai ke daerah selatan. Pada saat itu, Raja Buleleng sempat menolak. Bahkan Raja Buleleng mengingatkan Belanda untuk tidak mengusik semeton Muslim-nya.

Akibatnya, tutur Moh. Mustofa Umar, Raja Buleleng dibuang oleh Belanda keluar Bali. Konon ada yang menyebutkan dibuang ke wilayah Sumatra Barat. Ada tokoh Kampung Muslim yang ikut serta saat itu, yakni Abdullah Mascaty. “Dulu belum ada Kampung Kajanan, yang ada Kampung Islam,” kata Moh. Mustofa Umar, yang mengaku mendapatkan cerita tersebut dari kakeknya.

Meskipun Raja Buleleng menolak, cerita Moh. Mustofa Umar, Belanda tetap mencari celah untuk memindahkan warga Kampung Islam di pinggir pantai ke arah selatan. Termasuk mengasingkan Raja Buleleng dan mencari penggantinya. Akhirnya pengganti Raja Buleleng itu menggeser warga Muslim di pinggir pantai ke daerah selatan (ngajanang). Daerah pindahan tersebut kemudian dikenal sebagai Kampung Kajanan.

Moh. Mustofa Umar mengatakan, dulu wilayah Kampung Kajanan luas, sampai ke daerah Buitan (belakang Kodim 1609/Buleleng atau RRI Singaraja). Karena terlalu luas, maka kemudian Kampung Kajanan dibagi menjadi beberapa desa/kelurahan, di antaranya Banjar Bali.

Versi kedua, seperti diungkapkan HM Muhiddin Habas, S.Pd., tokoh atau sesepuh Kampung Islam Dangin Puri Buleleng. HM Muhiddin menuturkan, Raja Buleleng I Gusti Ngurah Narung yang pernah memerintah Kerajaan Buleleng mempunyai dua keluarga. Satu ada di Sukasada dan satu lagi ada di Kampung Kajanan (waktu itu belum bernama Kampung Kajanan-red), yakni I Gusti Ketut Djelantik.

Djelantik ini masuk Islam dan tinggal di Kajanan. Ia mempunyai keturunan I Gusti Ketut Saleh. Gusti Saleh mempunyai anak, di antaranya bernama Ahmad Kajanan. Pada zamannya, Ahmad Kajanan merupakan orang yang paling kaya di kota Singaraja. Ia tinggal di selatan Pelabuhan Buleleng, yang sekarang dikenal sebagai Kajanan. “Dulu namanya belum Kajanan,” cerita HM Muhiddin.

Dikisahkan, kalau orang mau ke Singaraja, dan berlabuh di pelabuhan, turun dari perahu melewati pasar bok. Dari jembatan terus ke selatan, itu satu jalur tempat tinggal dengan Ahmad Kajanan. Karena dia terkaya di dalam kota ini, dan namanya sering disebut orang, maka daerah tempat tinggal Ahmad Kajanan ini lama kelamaan disebutlah Kampung Kajanan.

“Karena dia paling kaya di daerah ini dan namanya sering disebut oleh orang, maka daerah tempat tinggalnya disebut Kampung Kajanan. Itu cerita dari nenek mertua saya di Banjar Jawa,” tutur HM Muhiddin Habas, yang juga penulis buku “Nurul Mubin, Abdi Raja Buleleng” ini.

Versi lainnya, seperti cerita yang berkembang di masyarakat, yang menyebutkan, pada suatu saat, terjadi eksodus atau perpindahan secara besar-besaran masyarakat keturunan Bugis yang tinggal di pesisir pantai (Kampung Bugis sekarang-red) akibat adanya bencana besar berupa banjir dan abrasi pantai. Banyak warga yang tadinya bermukim di pesisir pantai, pindah mengungsi menuju arah ngajanang. Ngajanang merupakan bahasa Bali yang berarti ke selatan.

Merasa aman di tempat selatan, warga pindahan dari pesisir pantai (Kampung Bugis) akhirnya menetap dan tinggal di daerah Ngajanang itu atau yang kemudian dikenal sebagai Kampung Kajanan. Namun, tidak disebutkan kapan terjadinya eksodus warga Bugis ke arah selatan.

Anggota Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng, Nyoman Dodi Irianto, mengutip buku “Warisan Buleleng, Menapak Jejak Leluhur Anglurah Panji Sakti” karya AA Ngurah Sentanu, menyebutkan, hingga tahun 1855, tidak ada nama Kampung Kajanan. Dari puluhan nama-nama desa di Buleleng waktu itu seperti ditulis dalam buku tersebut, tak tercantum nama Kampung Kajanan. Nama daerah di sekitar Pelabuhan Buleleng itu disebut Pabean (Buleleng). Selain itu, ada juga nama Pabean (Sangsit). Nama Desa Pegayaman juga tercantum dalam daftar desa-desa di Buleleng pada tahun 1855 tersebut. Namun tidak ada nama Kampung Kajanan.   

Lantas kapan Kampung Kajanan ada? Koordinator Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng, Drs. Amoeng Abdurrahman, menduga, sebelum bernama Kampung Kajanan, sudah ada komunitas Muslim di daerah ini. Komunitas ini bisa jadi berasal dari pedagang-pedagang dari berbagai daerah dan negara lain, seperti Bugis, Madura, Arab, atau Cina, yang melakukan perdagangan lewat Pelabuhan Buleleng.

Sebab, pada abad 17, merupakan era perdagangan maritim, sehingga pesisir pantai Buleleng (Pelabuhan Buleleng) sangat ramai dengan pedagang dari berbagai daerah, bahkan dari negara lain. Dugaan adanya komunitas Muslim tersebut dibuktikan dengan berdirinya Masjid Kuno Keramat yang dalam prasasti (papan di atas mihrab masjid) disebutkan tahun 1654 M. Juga ditemukan Al Qur’an kuno di rumah warga sekitar Masjid Kuno Keramat. Al Qur’an tersebut ber-titi mangsa 1625 M.

Amoeng Abdurrahman berpendapat, tidak mungkin ada masjid (walaupun waktu itu bentuknya bangunan sekepat) dan Al Qu’ran kuno kalau di sekitarnya tidak ada komunitas Muslim. “Sebelum ada nama Kampung Kajanan, saya yakin sudah ada komunitas Muslim di sini. Tapi entah sejak kapan nama Kajanan digunakan. Apakah Kampung Kajanan itu baru muncul pada masa Belanda?” demikian Amoeng Abdurrahman.

Belanda masuk ke Buleleng, baru tahun 1846. Jadi ada waktu 200 tahun. Ada dua abad yang gelap. Tidak ketahuan apa nama wilayah yang ditempati komunitas Muslim ini. “Jadi sudah ada komunitas Muslim di sini. Mungkin belum Kajanan namanya,” ujarnya.

Sementara Sesepuh Kampung Kajanan, Ustadz Abdurahman Alawi, mempunyai prediksi dengan berpatokan pada berdirinya Masjid Kuno Keramat Singaraja yang merupakan masjid tertua di Kampung Kajanan dan Singaraja. Dalam prasasti berupa kayu yang ditemukan arkeolog Dr. Ali Fadilah, Masjid Kuno Keramat dibangun pada 1654 M.

Dalam pandangan Ustadz Abdurahman Alawi, jika yang membangun Masjid Kuno Keramat saat itu berumur rata-rata 50 tahun, maka komunitas Muslim yang ada di sekitar Masjid Kuno Keramat setidaknya sudah ada sejak 1600-an. Namun, apakah komunitas Muslim itu sudah bernama Kampung Kajanan atau nama lain, masih harus diteliti lagi.